Sabtu, 21 Desember 2013

KATA IBU / MAKSUD IBU






Agaknya ini dimulai pada masa remaja. Misalkan aku memakai celana jeans sobek milikku yang palig bagus dan hendak keluar rumah,  lalu Ibu memandangiku dan bertanya dengan nada mengkritik, “itu yang mau kau pakai?” Ya. ”Didepan umum?” ya. “terlihat orang?” ya. Aku sudah hafal percakapan rutin ini, tetapi tetap saja aku menggigit umpan. Kenapa, Ibu? Nggak SUKA pakaianku? “nggak, nggak apa-apa,” kata dia... “nggak apa-apa,” KATA dia... MAKSUD dia. ”kalau kau keluar rumah dengan pakaian seperti itu dan orang melihat mu, mereka pasti berasumsi kau anak miskin yang baru keluar penjara, dan menyalahkanku secara pribadi untuk itu, karena kau TAHU mereka pasti berfikir begitu... selalu saja SALAH SI IBU... yah,

 aku beri tahu saja, aku akan MATI saking malu dan tak perlu memberitahumu betapa siksaan ini terasa seperti mati perlahan berkali-kali.” Aku pun dengan riang berjinngkik-jingkik keluar rumah. Namun, entah bagaimana, secara misterius, ketika ibuku membersihkan rumah keesokkan harinya, aku akan menemukan celana jeans sobek milikku yang paling bagus itu balas menatapku saat aku mengangkat tutup tong sampah untuk memasukkan karung sampah baru. Misteri itu tak pernah terpecahkan dan kami tak pernah tahu persis bagaimana jeansku bisa sampai disitu.
Seusai SMA, aku mengalami masa keraguan dan pencarian. Aku tak puya arah atau motivasi. Aku juga sangat perlu disadarkan tentang realistis hidup. Aku yakin akan segera menghasilkan berton-ton uang dengan puisiku yang gelap dan kekanakkan, bahwa sebentar lagi bakat besarku dan kecemerlanganku akan disadari orang, dan aku tak akan terpaksa meniru masyarakat kebanyakan yang melakukan hal-hal biasa seperti memiliki pekerjaan sungguhan. Jadi, aku merenung dan terpekur dan menjadi pemikir hebat. Jadi, tanpa pekerjaan atau rencana, aku terapung beberapa lama dalam perjalanan lesu untuk menari sutraku dan mencari diriku. Masa tanpa arah. Masa tenggang. Sekitar tiga hari.
“Baik! Aku sudah muak.” Ibu membentakku sambil menampar kakiku agar turun dari atas meja kopi, melempar bakpao ketempat sampah, dan mematikan TV (ini sedang dalam satu gerakkan sinambung yang mulus, seperti dalam film karate yang bagus atau adegan dari film billy jack. Ibu sedang MURKA.) “ini pilihanmu,” katanya kepadaku, kursus, dan formulir pendaftaran universitas dipangkuanku. Wah, ini menyeramkan. Ibu sudah sempat sibuk. Dia sudah mengumpulkan berbagai informasi, dan dia bahkan melemparkan (tepat kearahku dengan KERAS) satu KOTAK pena. (Tinta hitam, untuk mengisi formulir.) Dia berjalan mondr mandir dan aku menegakkan tubuh dan menyimak, ngeri melihat segi Ibu yang baru dan agresif ini, yang belum pernah kulihat sebelumnya. Dia berbicara dengan tegas. Ibaratnya dia polisi dan aku penjahat yang ditangkap dikota terkutuk ini dan dia menguasaiku. “Aku tak akan (beginilah cara Ibu saat memarahiku, dan dia berteriak begitu lantang sehingga seluruh kapasitas paru-parunya terpakai setiap lima hingga tujuh kata) membiarkan mu duduk di PANTATMU yang malas! Seharian! Setiap hari! Seperti yang kau lakukan selama ini! Tak melakukan APA-APA SEHARIAN! Dan kalau kau! Cuma akan! Duduk-duduk disini! Menunggu diterbitkan! Kau boleh angkat kaki!” Aku sempat menunggu kepalanya mulai berputar-putar. Aku yakin dia sedang mengembuskan napas api. “Kau bisa mencari kerja! Seperti orang yang bertangguhg jawab! Atau kau bisa kuliah... PUYNA WAKTU! Tapi kau harus melakukan SESUATU.SEHARIAN! Kau MENGERTI?”
Oke, itu KATA Ibu. MAKSUD Ibu adalah “Sayag, aku mencitaimu. Aku ingin jalan hidupmu lebih baik dari pada aku. Aku tak mau kau harus membanting tulang dan menela martabat dan harus bekerja didua atau tiga tempat hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok. Kau telah diberi karunia di dunia ini. Kau berbakat, pintar, lucu. Tolong jangan sia-siakan semua itu. Tolong jangan mengabaikan peluang yang kau miliki, yang dulu tak kumiliki. Kalau-kalau dunia tak menyadari kehebatanmu secepat aku, aku ingin kau mampu menafkahi diri dan mendapatkan selembar ijazah itu. Aku tetap mencintaimu dengan atau tanpa gelar sarjana, tetapi dunia memiliki standar lain dan kau perlu ijazah agar kau punya pilihan. Ijazah adalah kunci yang membuka banyak pintu. Aku tak memperoleh kunci itu atau pilihan itu dan akhirnya harus menerima sisa pintu mana yang terbuka. Pintu yang tak akan kupilih sendiri, andai aku dipilihan lain,” (Jadi... aku sekarang memiliki dua gelar diploma dan sisa dua belas jam untuk mendapat gelar sarjana.)
“Kau sudah minum vitamin? Kau makan siang apa? Apakan rendah lemak? Rendah kolestrol?” tanyanya di telvon. Dan aku memutar mata. “Iya, Ibu! Sudah berapa tahun Ibu menganggap usiaku tetap dua tahun?” dia menghela napas. Kami berdua jijik.” Yah, Ibu tak bisa memaksamu dengan baik, Donna. Dan kau sudah besar dan kalau kau tak peduli soal kesehatanmu, itu bukan urusan Ibu,, “KATA Ibu.
MAKSUD Ibu, “setua apapun dirimu, kau akan selalu menjadi bayiku. Dan aku selalu mencintaimu,begitu besar sehingga andai kau sakit atau sesuatu terjadi padamu, aku psti sedih sekali. Aku tak akan bisa mengajakmu mengobrol, atau berteman, atau mengingatkanmu tentang vitamin, dan sungguh, hatiku pasti remuk.”
“Hai Ibu. Apa kabar hari ini?” tanyaku sambil mencium pipinya. “Baik,” katanya. “Kami tidak mengerjakan apa-apa.”
“yah, itu jenis hari kesukaanku!” aku meenawarkan, berusaha membuatnya (dan mungkin aku) lebih ceria. “Apakah Ibu makan dengan baik? Mereka pasti merawat Ibu dengan baik... Ibu tampak cantik dan ayu sekali.” KATAku. MAKSUDku, “bagaimana ini bisa terjadi pada Ibu? Kau tampak begitu rapuh. Dan begitu lelah. Dan aku begitu merindukanmu setiap hari. Suatu hari kau akan tiada dan aku tak tahu apa yang harus kulakukan tanpa dirimu. Melihatmu dalam keadaan seperti ini meremukan hatiku. Apakan kau tahu betapa aku mencintaimu?”
Aku merangkak masuk ketempat tidur dan memeluknya. Ku dekap tubuhnya yang kecil dan ringkih erat-erat. Dan kuusap air matanya saat dia menangis. Dan kukatakan dengan nada yang lembut, berbisik, membujuk, “Ssst... jangan menangis. Tak ada yang perlu di tangisi.” Tetapi, dia menangis dan berkata, “Kau malaikat terkecilku. Ibu sangat mencintaimu.” Dan aku berkata, “Dan, sekarang aku disini, jadi tak perlu menangis. Segalanya baik-baik saja...” Dan dia melunak dalam pelukkan ku dan mengatakan dia lelah. Aku mencium keningnya sementara dia tertidur kedalam mimpinya. Dan kami mengatakan persis yang kami maksudkan. Katanya, “Kau malaikatku. Aku sayang padamu...” dan aku mengatakan, Ibu adalah ibuku dan aku juga sayang padamu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar