Agaknya ini
dimulai pada masa remaja. Misalkan
aku memakai celana jeans
sobek milikku
yang palig bagus dan hendak keluar rumah, lalu
Ibu memandangiku dan bertanya dengan nada mengkritik,
“itu yang mau kau pakai?” Ya. ”Didepan
umum?” ya. “terlihat orang?” ya. Aku sudah hafal percakapan rutin ini, tetapi
tetap saja aku menggigit umpan. Kenapa, Ibu? Nggak SUKA pakaianku? “nggak, nggak
apa-apa,” kata dia... “nggak apa-apa,” KATA dia... MAKSUD dia. ”kalau kau keluar rumah
dengan pakaian seperti itu dan orang melihat mu, mereka pasti berasumsi kau
anak miskin yang baru keluar penjara, dan menyalahkanku secara pribadi untuk
itu, karena kau TAHU mereka pasti berfikir begitu... selalu saja SALAH SI
IBU... yah,
aku beri tahu saja, aku akan MATI saking malu dan tak perlu memberitahumu betapa siksaan ini terasa seperti mati perlahan berkali-kali.” Aku pun dengan riang berjinngkik-jingkik keluar rumah. Namun, entah bagaimana, secara misterius, ketika ibuku membersihkan rumah keesokkan harinya, aku akan menemukan celana jeans sobek milikku yang paling bagus itu balas menatapku saat aku mengangkat tutup tong sampah untuk memasukkan karung sampah baru. Misteri itu tak pernah terpecahkan dan kami tak pernah tahu persis bagaimana jeansku bisa sampai disitu.
aku beri tahu saja, aku akan MATI saking malu dan tak perlu memberitahumu betapa siksaan ini terasa seperti mati perlahan berkali-kali.” Aku pun dengan riang berjinngkik-jingkik keluar rumah. Namun, entah bagaimana, secara misterius, ketika ibuku membersihkan rumah keesokkan harinya, aku akan menemukan celana jeans sobek milikku yang paling bagus itu balas menatapku saat aku mengangkat tutup tong sampah untuk memasukkan karung sampah baru. Misteri itu tak pernah terpecahkan dan kami tak pernah tahu persis bagaimana jeansku bisa sampai disitu.
Seusai SMA, aku
mengalami masa keraguan dan pencarian. Aku tak puya arah atau motivasi. Aku
juga sangat perlu disadarkan tentang realistis hidup. Aku yakin akan segera
menghasilkan berton-ton uang dengan puisiku yang gelap dan kekanakkan, bahwa
sebentar lagi bakat besarku dan kecemerlanganku akan disadari orang, dan aku
tak akan terpaksa meniru masyarakat kebanyakan yang melakukan hal-hal biasa
seperti memiliki pekerjaan sungguhan. Jadi, aku merenung dan terpekur dan
menjadi pemikir hebat. Jadi, tanpa pekerjaan atau rencana, aku terapung
beberapa lama dalam perjalanan lesu untuk menari sutraku dan mencari diriku. Masa tanpa arah.
Masa tenggang. Sekitar tiga hari.
“Baik! Aku sudah
muak.” Ibu
membentakku sambil menampar kakiku agar turun dari atas meja kopi, melempar bakpao ketempat sampah, dan
mematikan TV (ini
sedang dalam satu gerakkan sinambung yang mulus, seperti dalam film karate yang
bagus atau adegan dari film billy jack. Ibu sedang MURKA.) “ini pilihanmu,” katanya
kepadaku, kursus, dan formulir pendaftaran
universitas dipangkuanku.
Wah, ini menyeramkan. Ibu sudah
sempat sibuk. Dia sudah mengumpulkan berbagai informasi, dan dia bahkan
melemparkan
(tepat kearahku dengan KERAS) satu KOTAK pena. (Tinta hitam, untuk mengisi
formulir.) Dia berjalan mondr mandir dan aku menegakkan tubuh dan menyimak, ngeri melihat segi Ibu yang baru dan agresif
ini, yang belum pernah kulihat sebelumnya. Dia berbicara dengan tegas.
Ibaratnya dia polisi dan aku penjahat yang ditangkap dikota terkutuk ini dan
dia menguasaiku. “Aku tak akan (beginilah cara Ibu saat memarahiku, dan dia berteriak begitu lantang sehingga seluruh kapasitas paru-parunya
terpakai setiap lima hingga tujuh kata) membiarkan mu duduk di PANTATMU yang
malas! Seharian! Setiap hari! Seperti yang kau lakukan selama ini! Tak
melakukan APA-APA SEHARIAN! Dan kalau kau! Cuma akan! Duduk-duduk disini!
Menunggu diterbitkan! Kau boleh angkat kaki!” Aku sempat menunggu kepalanya
mulai berputar-putar. Aku yakin dia sedang mengembuskan napas api. “Kau bisa
mencari kerja! Seperti orang yang bertangguhg jawab! Atau kau bisa kuliah... PUYNA WAKTU! Tapi kau harus melakukan
SESUATU.SEHARIAN! Kau MENGERTI?”
Oke, itu KATA Ibu. MAKSUD Ibu adalah “Sayag, aku mencitaimu. Aku ingin jalan
hidupmu lebih baik dari pada aku. Aku tak mau kau harus membanting tulang dan menela martabat dan harus bekerja
didua atau tiga tempat hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok. Kau telah diberi
karunia di dunia ini. Kau berbakat, pintar, lucu. Tolong jangan sia-siakan semua itu. Tolong jangan
mengabaikan peluang yang kau miliki, yang dulu tak kumiliki. Kalau-kalau dunia
tak menyadari kehebatanmu secepat aku, aku ingin kau mampu menafkahi diri dan
mendapatkan selembar ijazah itu. Aku tetap mencintaimu dengan atau tanpa gelar
sarjana, tetapi dunia memiliki standar lain dan kau perlu ijazah agar kau
punya pilihan. Ijazah adalah kunci yang membuka banyak pintu. Aku tak
memperoleh kunci itu atau pilihan itu dan akhirnya harus menerima sisa pintu
mana yang terbuka. Pintu yang tak akan kupilih sendiri, andai aku dipilihan lain,” (Jadi...
aku sekarang memiliki dua gelar diploma dan sisa dua belas jam untuk mendapat
gelar sarjana.)
“Kau sudah minum
vitamin? Kau makan siang apa? Apakan rendah lemak? Rendah kolestrol?” tanyanya
di telvon. Dan aku memutar mata. “Iya, Ibu! Sudah berapa tahun Ibu menganggap usiaku tetap
dua tahun?” dia menghela napas. Kami berdua jijik.” Yah, Ibu tak bisa memaksamu
dengan baik, Donna. Dan kau sudah besar dan kalau kau tak peduli soal
kesehatanmu, itu bukan urusan
Ibu,, “KATA Ibu.
MAKSUD Ibu, “setua apapun dirimu,
kau akan selalu menjadi bayiku. Dan aku selalu mencintaimu,begitu besar
sehingga andai kau sakit atau sesuatu terjadi padamu, aku psti sedih sekali.
Aku tak akan bisa mengajakmu mengobrol, atau berteman, atau mengingatkanmu
tentang vitamin, dan
sungguh, hatiku pasti remuk.”
“Hai Ibu. Apa kabar hari ini?”
tanyaku sambil mencium pipinya. “Baik,” katanya. “Kami tidak mengerjakan
apa-apa.”
“yah, itu jenis hari kesukaanku!” aku meenawarkan,
berusaha membuatnya (dan mungkin aku) lebih ceria. “Apakah Ibu makan dengan baik?
Mereka pasti merawat Ibu dengan
baik... Ibu tampak
cantik dan ayu sekali.” KATAku. MAKSUDku, “bagaimana ini bisa terjadi pada Ibu? Kau tampak begitu
rapuh. Dan begitu lelah. Dan aku begitu merindukanmu setiap hari. Suatu hari
kau akan tiada dan aku tak tahu apa yang harus kulakukan tanpa dirimu.
Melihatmu dalam keadaan seperti ini meremukan hatiku. Apakan kau tahu betapa
aku mencintaimu?”
Aku merangkak
masuk ketempat tidur dan memeluknya. Ku dekap tubuhnya yang kecil dan ringkih
erat-erat. Dan kuusap air matanya saat dia menangis. Dan kukatakan dengan nada
yang lembut, berbisik, membujuk, “Ssst... jangan menangis.
Tak ada yang perlu di tangisi.” Tetapi, dia menangis dan berkata, “Kau malaikat
terkecilku. Ibu sangat mencintaimu.”
Dan aku berkata, “Dan, sekarang aku disini, jadi tak perlu menangis. Segalanya
baik-baik saja...” Dan dia melunak dalam pelukkan ku dan mengatakan dia lelah.
Aku mencium keningnya sementara dia tertidur kedalam mimpinya. Dan kami mengatakan
persis yang kami maksudkan. Katanya, “Kau malaikatku. Aku sayang padamu...” dan
aku mengatakan, “Ibu adalah ibuku dan aku
juga sayang padamu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar