Hati
seorang ibu adalah ruang kelas bagi anaknya.
Ketika usiaku
sekitar dua belas tahun, Ibu menceritakan kecerdikanku saat aku masih berusia
tiga tahun. Kenangannya, yang pasti sudah berubah dengan berlalunya waktu
bertahun-tahun, melukiskan diriku sebagai anak prasekolah yang hebat. Bagiku, diriku yang sekarang lebih
buruk dari pada sipemikat hati berambut emas yang dikenang ibu itu. Pada usia
dua belas, aku masih belum bisa disebut remaja, dan aku merasa canggung karena
menggunakan kacamata bergagang tebal dan rambut keriting buatan rumah (Waktu
itu rambut keriting tidak populer).
Gadis-gadis lain
di goda anak lelaki “bengal” di sekolah dan berkelompok-kelompok dengan riang.
Semua kisah cintaku hanya khayalan dan jumlah teman ku sanagat sedikit.
“Kapankah usia terbaiku?” tanyaku dengan agak ragu.
Ibu menatap ku
dengan heran. “saat ini,” katanya. “kau sedang dalam usia terbaikmu.” Pada acara
makan siang sehari sebelum hari wisuda ku di pergurun tinggi, Ibu mengatakan
betapa cepatnya waktu berlalu. Rasanya
baru sebulan yang lalu dia menjadi pembina brownie (pramuka putri), sementara aku seorang brownie. Di
perguruan tinggi, aku
tindak menjadi pemandu sorak. Gaya rambut yang populer sekarang adalah rambut
sasak, tetapi
rambutku yang tipis hanya di ekor kuda.
Hampir setiap malam diasrama, aku bertugas
memencet bel kamar gadis-gadis lain ketika teman kencan mereka tiba. Aku tidak mengirimkan
surat pendaftaran ke program S2 atau korps perdamaian. Kukatakan kepada ibu
bahwa mungkin dia merindukan putri kecilnya.
“sama sekali
tidak,” jawabnya tegas. ”kau
sedang dalam usia terbaikmu.”
Tiga tahun
kemudian, aku
kembali tinggal bersama orangtua ku, kali ini ditambah dua bayi dikamar tamu.
Aku menikah dengan pacarku semasa SMA, dan dia meninggalkan ku. Memang hanya
selama dua bulan, sampai
kami dapat bergabung dengannya di
Jakarta, tetapi aku sibuk dengan popok, keringinan dan bedak bayi.
Mengurus dua
bayi yang bangun subuh-subuh, memuntahkan
buburnya lalu menggigit koran, kubuat
rumah orang tuaku yang biasanya rapi menjadi kamar bayi yang berantka. Aku agak
terlalu banyak makan, agak
terlalu lama tidur, dan
agak terlalu sering menggerutu. Dengana nada minta maaf kukatakan kepada ibuku
bahwa aku yakin ibu akan gembira kalau keadaan rumahnya bisa normal kembali, kerepotan mengurus anak memang
masih bisa dimaklumi, tapi
aku sudah terlalu tua untuk menjadi anak nya.
“oh, sama sekali
tidak,” katanya. ”ibu
senang ada dua bayi mu, tapi
kau sekarang
sedang dalam usia terbaikmu.”
Tidak terasa, kedua “bayiku” sudah menjadi anak
remaja dengan selera makan besar. Rumahku benar-banar tidak pernah bisa rapi, dan aku harus sering merencanakan makan malam pada jam
16:45 .”rambut
keriting” akhirnya
menjadi populer, tapi
rambutku lurus seperti ijuk. Meskipun demikian, saat berkunjung diwaktu
liburan, ibuku
berkata, “kau sedang dalam usia terbaikmu.”
Minggu
berikutnya, aku
dan putra ku yang berusia enam belas
tahun sedang berdiskusi. Meskipun sudah lupa topiknya, aku masih ingat bahwa diskusi itu
agak sengit. Kami
sering besdiskudi sejak berbeda pandangan tentang manfaat televisi, defenisi
kamar yang rapi, dan
apakah tangki bensin yang katanya sedikit dibawah batas seperempat penuh yang
diisikannya untukku masih ada isinya atau sudah hampir habis.
“kesal deh,” akhirnya dia berkata dengan
jengkel. ”pasti
ibu ingin aku jadi anak umur dua tahun
lagi supaya bisa disuruh-suruh.” Tapi, dengan menengadah dan meandangnya, aku
hanya terdiam sejenak berkata dengan jujur, ”tidak,sayang, dugaanmu benar-benar keliru. Saat
ini, kau sedang dalam usia terbaikmu.”
Dan dengan
kata-kata itu kuteruskan hadiah penerimaan, perasaan berharga dan dihargai, dan rasa aman kuserahkan kepadanya hadiah cinta
dari ibuku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar