Seorang
ibu adalah seorang yang,ketika hanya melihat ada empat iris kue untuk lima
orang, segera berkata bahwa dia suka kue.
Aku lahir pada
tanggal 25 Februari, yang kebetulan juga hari ulang tahun ibuku. Seakan-akan
waktu yang satu ini meramalakan betapa dalamnya hubungan kami di masa
berikutnya. Sepanjang masa kecilku, masa remaja, dan masa dewasa ku, jalinan ikatan
di antara kami semakin kokoh. Setiap tahun, saat kami merayakan ulang tahun,
kami menjadi semakin serasi, semakin
saling memahami, semakin
berbagi pengetahuan dan semangat. Kami berbagi mimpi, masalah, hobi, acara belanja, diskusi mendalam, segalanya. Melalui ini semua, aku
dan mama bekerja sama sebagai satu tim.
Obrolan panjang
kami mencakup banyak hal, termasuk masa depan ku dan perkembangan alami
persahabatan
kami kalau aku menikah nanti.Tidak pernah sekali pun kami terpikir kemungkinan
terjadi sesuatu yang bisa mengubah landasan hubungan kami. Saat aku tumbuh dewasa dan membentangkan
sayap, aku
begitu tertarik untuk berkunjung ke Australia. Tidak ada alasan yang jelas
aku tidak tau ada apa disana, bhkan dimana persisnya letak negara
itu.Tapi, aku tak kuasa mengabaikan keinginan itu.
Tatkala aku
berdiri di bandara sambil memegang tiket pesawat dan visa liburan yang berlaku
selama setahun, aku
dan mama berusaha keras menguasai diri saat mengucapkan salam perpisahan. Kami
belum pernah dalam waktu selama ini. Kami sama-sama tau bahwa perpisahan ini
tidak mudah, tetapi kami juga tau bahwa hal ini harus dihadapi. Beberpa ucapan
terkhir yang dikatakan mama kepadaku adalah. ”jangan jatuh cinta pada pria
Australian dan jangan menikah dengannya.” Upaya tabah untuk melucu, tetapi tak akan kulupakan. Setahun
kemudian, ketika aku pulang dan berusaha menyesuaikan diri kembali dengan
kehidupan lama ku, kata-katanya terus menghantuiku. Aku tidak jatuh cinta pada pria
Auatralia. Tapi, aku jatuh cinta pada seorang pria berkebangsaan inggris yang
tinggal di Australia, yang sama saja maknanya ketika sebulan kemudian dia
melamarku.
Dalam selang
waktu singkat menjelang pernikahan ku dan emigrasiku, aku dan mama menghabiskan waktu
berjam-jam bersama, masing-masing
berusaha memanfaatkan waktu yang kami miliki di inggris dengan sebaik-baiknya.
Saat menjalani semua ini, tidak sekali pun mama mengungkapkan bagaimana
perasaannya sebenarnya tentang kepergianku ketempat sejauh sekita dua puluh
ribu kilometer, atau
hilangnya obrolan kami sehari-hari, atau
hilangnya impiannya untuk bercengkrama bersama anak-anakku nanti. Dia tidak
pernah mengungkapkan rasa kecewanya karena tidak mampu membeli tiket poesawat
yang mahal untuk menghadiri pesta pernikahanku. Yang dilakukannya justru
mengungkapkan betapa senang hatinya karena aku telah menemukan kebahagiaan ku, betapa bangganya dia, dan betapa rindunya dia nanti
setelah aku pergi. Namun, dibalik semua kata-katanya yang ringan itu, aku bisa mrasakan ada hati yang terluka. Mana mungkin aku tidak
mersasakannya?
Delapan belas
bulan setelah penerbanganku yang pertama.kami berdiri lagi bersama-sama di
bandara, tidak sanggup berkata-kata. Disaat ku berjalan sendirin melalui pintu
byang mengantarkanku kemasa depan, hatiku merasa sakit meninggalkan masa lalu.
Hanya lalu lalang orang disekitarkulah yang membuat ku terus berjalan kedepan
menuju pesawat terbang. Namun, saat
aku duduk di dekat jendela, besarnya keputusanku terasa menghantam jantung ku.
Sambil menahan runtuhnya air mata oleh rasa sakit di tubuhku, kukesampingkan
kesadaran yang terus menggangguku, kesadaran
bahwa entah kapan aku akan bisa bertemu ibuku lagi. Dengan hati hancur, dan
dengan sia-sia, kuusahakan untuk menyingkirkan
semua itu, kecuali bahwa alam beberapa hari ini aku akan bersama tunanganku
lagi.
Puncak musim
panas menyambut kedatangan ku di Australia. Saat kukeluarkan gaun pengantinku
dan beberapa hadiah dari inggris, aku
tak bisa menepiskan pikiran tentang betapa
berbedanya pernikahanku nanti dengan pernikahan yang kubayangkan selama
bertahun-tahun ini. Saudara sepupuku yang orang Australia yang akan mendampingiku
saat aku menikah, tetapi
tak ada lagi keluarga ku yang lain. Bahkan, sebagian besar tamu adalah teman
tunanganku orang-orang yang tidak kukenal. Dalam lubuk hatiku aku yakin bahwa ini
keputusan yang benar, tapi
dengan berlalunya hari demi hari menjelang hari pernikahanku, jarak yang memisahkanku dengan
ibuku terasa semakin berat.
Beberapa hari
menjelang hari pernikahan ku, sepupu
ku menelpon dan berkata bahwa dia perlu membicarakan tugasnya sehubungan acara
pernikahan itu.
Saat membelok jalan garasinya, hatiku diliputi rasa cemas. Bagaimana jika
ternyata dia tidak bisa hadir? Apakah aku akan menikah tanpa dihadirin keluargaku seorang pun? Perasaan
panik mencengkram diriku saat ku ketuk pintu rumahnya. Akhirnya, pintu
dibyukkan, dan aku berdiri mematung, terpukau
oleh pemandangan yang kulihat, Tampak ibuku berdiri disitu.
Ternyata, saat
ibuku melihatku melewati pintu di bandara, dia juga merasakan kesedihan yang
begitu mendalam. Dan, dalam waktu lima hariu sejak itu, dia berusa keras melakukan segala
daya dan upaya untuk bisa menghadiri pernikahanku. Pada jam delapan pagi, beberapa hari kemudian, pernikahanku pun berlangsung.
Jaraknya dua pulih ribu kilometer dari tempat yang dulu kami banyangkan.
Tempatnya disebuat Masjid
yang amat cantik, bukan
digedung mewah. Tidak ada gaun pengantin berekor
panjang atau musik organ. Tapi, tidak jadi soal, sebab ibuku, yang tampak penuh cinta tanpa pamrih, dan selalu
mendukungku, ada
disitu mendampingiku
dan menyerahkanku kepada pria yang kucintai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar