Sabtu, 21 Desember 2013

DUKUNGAN TANPA PAMRIH




Seorang ibu adalah seorang yang,ketika hanya melihat ada empat iris kue untuk lima orang, segera berkata bahwa dia suka kue.

Aku lahir pada tanggal 25 Februari, yang kebetulan juga hari ulang tahun ibuku. Seakan-akan waktu yang satu ini meramalakan betapa dalamnya hubungan kami di masa berikutnya. Sepanjang masa kecilku, masa remaja, dan masa dewasa ku, jalinan ikatan di antara kami semakin kokoh. Setiap tahun, saat kami merayakan ulang tahun, kami menjadi semakin serasi, semakin saling memahami, semakin berbagi pengetahuan dan semangat. Kami berbagi mimpi, masalah, hobi, acara belanja, diskusi mendalam, segalanya. Melalui ini semua, aku dan mama bekerja sama sebagai satu tim.

 
Obrolan panjang kami mencakup banyak hal, termasuk masa depan ku dan perkembangan alami persahabatan kami kalau aku menikah nanti.Tidak pernah sekali pun kami terpikir kemungkinan terjadi sesuatu yang bisa mengubah landasan hubungan kami. Saat aku tumbuh dewasa dan membentangkan sayap, aku begitu tertarik untuk berkunjung ke Australia. Tidak ada alasan yang jelas aku  tidak tau ada apa disana, bhkan dimana persisnya letak negara itu.Tapi, aku tak kuasa mengabaikan keinginan itu.
Tatkala aku berdiri di bandara sambil memegang tiket pesawat dan visa liburan yang berlaku selama setahun, aku dan mama berusaha keras menguasai diri saat mengucapkan salam perpisahan. Kami belum pernah dalam waktu selama ini. Kami sama-sama tau bahwa perpisahan ini tidak mudah, tetapi kami juga tau bahwa hal ini harus dihadapi. Beberpa ucapan terkhir yang dikatakan mama kepadaku adalah. ”jangan jatuh cinta pada pria Australian dan jangan menikah dengannya.” Upaya tabah untuk melucu, tetapi tak akan kulupakan. Setahun kemudian, ketika aku pulang dan berusaha menyesuaikan diri kembali dengan kehidupan lama ku, kata-katanya terus menghantuiku. Aku tidak jatuh cinta pada pria Auatralia. Tapi, aku jatuh cinta pada seorang pria berkebangsaan inggris yang tinggal di Australia, yang sama saja maknanya ketika sebulan kemudian dia melamarku.
Dalam selang waktu singkat menjelang pernikahan ku dan emigrasiku, aku dan mama menghabiskan waktu berjam-jam bersama, masing-masing berusaha memanfaatkan waktu yang kami miliki di inggris dengan sebaik-baiknya. Saat menjalani semua ini, tidak sekali pun mama mengungkapkan bagaimana perasaannya sebenarnya tentang kepergianku ketempat sejauh sekita dua puluh ribu kilometer, atau hilangnya obrolan kami sehari-hari, atau hilangnya impiannya untuk bercengkrama bersama anak-anakku nanti. Dia tidak pernah mengungkapkan rasa kecewanya karena tidak mampu membeli tiket poesawat yang mahal untuk menghadiri pesta pernikahanku. Yang dilakukannya justru mengungkapkan betapa senang hatinya karena aku telah menemukan kebahagiaan ku, betapa bangganya dia, dan betapa rindunya dia nanti setelah aku pergi. Namun, dibalik semua kata-katanya yang ringan itu, aku bisa mrasakan ada hati yang terluka. Mana mungkin aku tidak mersasakannya?
Delapan belas bulan setelah penerbanganku yang pertama.kami berdiri lagi bersama-sama di bandara, tidak sanggup berkata-kata. Disaat ku berjalan sendirin melalui pintu byang mengantarkanku kemasa depan, hatiku merasa sakit meninggalkan masa lalu. Hanya lalu lalang orang disekitarkulah yang membuat ku terus berjalan kedepan menuju pesawat terbang. Namun, saat aku duduk di dekat jendela, besarnya keputusanku terasa menghantam jantung ku. Sambil menahan runtuhnya air mata oleh rasa sakit di tubuhku, kukesampingkan kesadaran yang terus menggangguku, kesadaran bahwa entah kapan aku akan bisa bertemu ibuku lagi. Dengan hati hancur, dan dengan  sia-sia, kuusahakan untuk menyingkirkan semua itu, kecuali bahwa alam beberapa hari ini aku akan bersama tunanganku lagi.
Puncak musim panas menyambut kedatangan ku di Australia. Saat kukeluarkan gaun pengantinku dan beberapa hadiah dari inggris, aku tak bisa menepiskan pikiran tentang betapa berbedanya pernikahanku nanti dengan pernikahan yang kubayangkan selama bertahun-tahun ini. Saudara sepupuku yang orang Australia yang akan mendampingiku saat aku menikah, tetapi tak ada lagi keluarga ku yang lain. Bahkan, sebagian besar tamu adalah teman tunanganku orang-orang yang tidak kukenal. Dalam lubuk hatiku aku yakin bahwa ini keputusan yang benar, tapi dengan berlalunya hari demi hari menjelang hari pernikahanku, jarak yang memisahkanku dengan ibuku terasa semakin berat.
Beberapa hari menjelang hari pernikahan ku, sepupu ku menelpon dan berkata bahwa dia perlu membicarakan tugasnya sehubungan acara pernikahan itu. Saat membelok jalan garasinya, hatiku diliputi rasa cemas. Bagaimana jika ternyata dia tidak bisa hadir? Apakah aku akan menikah tanpa dihadirin keluargaku seorang pun? Perasaan panik mencengkram diriku saat ku ketuk pintu rumahnya. Akhirnya, pintu dibyukkan, dan aku berdiri mematung, terpukau oleh pemandangan yang kulihat, Tampak ibuku berdiri disitu.
Ternyata, saat ibuku melihatku melewati pintu di bandara, dia juga merasakan kesedihan yang begitu mendalam. Dan, dalam waktu lima hariu sejak itu, dia berusa keras melakukan segala daya dan upaya untuk bisa menghadiri pernikahanku. Pada jam delapan pagi, beberapa hari kemudian, pernikahanku pun berlangsung. Jaraknya dua pulih ribu kilometer dari tempat yang dulu kami banyangkan. Tempatnya disebuat Masjid yang amat cantik, bukan digedung mewah. Tidak ada gaun pengantin berekor panjang atau musik organ. Tapi, tidak jadi soal, sebab ibuku, yang tampak penuh cinta tanpa pamrih, dan selalu mendukungku, ada disitu mendampingiku dan menyerahkanku kepada pria yang kucintai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar