Jangan
menunggu keadaan ideal,atau kesempatan terbaik, karena semua itu tak akan
pernah terjadi.
Suatu hari, saat
sedang membersihkan debu dari rak, sebuah
wadah porselen nyaris terlepas dari genggaman tanganku. Wadah itu, yang
bergambar kincir angin di satu sisi, disertai tulisann kata “jelai” di bawahnya
termasuk seperangkat tabung hadiah perkawinan untuk kedua orang tua ku pada
tahun 1970.
Aku masih ingat waktu aku masih kecil, aku belajr membaca kata, beras, tepung, havermut, dan jelai yang terletak diatas
kepalaku di rak dapur. Satu-satunya
wadah yang masih ada ini dan aku sungguh tercengang saat hal itu ku sadari
sekarang menjadi pusaka keluarga. Hari
itu, Saat tabung itu nyaris terlepas dari genggaman tanganku, kurasakan sekilas duka, kesedihan yang masih tetap
kurasakan saat mengenang ibunda ku telah berpulang.
Selama
bertahun-tahun ibuku merasa perlu memberitahuku barang apa saja yang akan ditinggalkannya saat dia meninggal nanti. Dia ingin
diyakinkan bahwa aku akan merawat
semua barang yang penting baginya. Aku selalu tidak mau menanggapinya serius
mungkin itu sikap protes ku yang tidak mau menerima bahwa suatu hari dia akan
meninggal.
Ibunya sendiri, nenekku membawa pulang mangkuk gelas cantik
dari Bandung,
dan Ibu berulang kali berusaha memberikannya kepadaku. Aku selalu berkata bahwa aku tak berminat memiliki
“barang.”
Terakhir kalinya
aku bertemu dengan ibu, Aku dan suami ku hendak bepergian selama sebulan. “sayang sekali, kau tak mau menerima sebagian
perhiasan mama, ”katanya.” perhiasan mama terlalu banyak untuk
dipakai
sendiri. Lagi
pula, kaukan sering sekali wawancara di televisi, kau bisa memakai manik-manik dan
bros yang berbeda-beda.” ibu
begitu gigh hingga akhirnya enggan menggerutu aku mau juga menerima kalung
emas. Seminggu kemudian, saat
terbang kembali ke Jakarta untuk
menghadiri acara pemakamannya, kutempelkan kalung itu
ke pipiku dan aku menangis, membelainya, sepanjang perjalann pulang kerumah.
Sekarang aku
sadar bahwa yang ingin disampaikan ibuku kepada ku bahwa barang akan bernilai
penting jika
memunculkan kenangan tentang orang yang kita cintai. Andai saja, aku lebh peka
menyikapi pertanyaannya yang tak terungkap.“ Akan kan kau merindukan mama
setelah mama tiada? Akankah kenangan mu yang kita lalui bersama menunjukkan
betapa besar cinta mama kepadamu?” andai saja aku bisa mengatakkan kepadanya
betapa berartinya perhiasannya, wadah
porselennya, dan mangkuknya bagiku sekarang. Dan semua barang itu ternyata
memang membuatku selalu ingat.
Belum lama ini, kukenakan kalung emas pemberiannya
saat hendak menemui seorang teman, aku ingat bakat ibuku dalam bersilahturahmi.
Dia selalu menjaga
hubungan dengan ratusan temannya sering kali melalui surat yang panjang. Teman
yang istimewa baginya adalah teman-temannya semasa kecil, dan mereka sering tertawa bersama.
Betapa asiknya mendengarkan tawa mereka! Aku juga menghargai teman-teman lama ku
beberapa antaranya telah tiga
puluh tahun kukenal. Andai saja aku bisa mengucaapkan terima kasih kepada ibuku
yang telah mengajariku betapa berharganya persahabatn yang langgeng.
Ikatan lain yang
tak terucap diantara kami adalah kecintaan kami pada dunia tulis menulis. Ayahku, yang saat ini berusia 73 tahun, masi suka mmberiku lembaran kertas
menguning yang ditulisi puisi cinta oleh pengantinnya yang masih muda , mungkin
masih takut-takut mengungkapkan perasaannya yang paling dalam dengan cara lain.
Di selembar kertas yang mulai pudar, dengan hati-hati ibuku menulis:
Dulu aku tak bisa menjalin cerita
Saat gelak tawa mengisi hatiku
Namun, aku bisa menulis kisah tak berakhir
Karena jiwaku terkoyak-koyak!
Ibuku berhenti
meulis puisi karena menjadi pendidik para orang tua. Semasa muda, aku ingin
menjadi dramawan, tetapi
ayahku mengatakan bahwa itu hanyalah hobi yang bagus bukan profesi yang mapan.
Aku pun menjadi pendidik orang tua. Aku jadi bertanya dalam hati apakah ayah ku
juga pernah mengatakan kepada ibuku bahwa menjadi penyair hanyalah hobi yang bagus.
Andai saja aku bisa memberitahu ibuku bahwa aku melihat potensi dirinya sebai
penyair.
Disaat hari
valentine atau Hari Ibu sudah dekat, aku
sedih karen bagaimana teringat bagaimana aku mecemooh kesenangan ibuku mencari-cari
alasan untuk merayakan cinta. Kalau saja bisa, akan kukirimkan sepuluh kartu
valentin baginya sekarang!
Kini aku
menyesal, dulu
aku tidak lebih bersenang-senang bersama ibuku, menonton film disiang hari, bepergian bersamanya. Semua itu kesukaan kami berdua,
hal-hal yang ku hargai berkat ajarannya. Setiap kali aku kebioskop dan cahaya lampu mulai di padamkan, aku
ingat ibuku meremas tangan ku dan berisik, ”Keajaiban dimulai!” Aku ingin mengucapkan terima
kasih kepadanya atas anugrah kegembiraan itu. Andai saja aku bisa mengatakan,”
Mama, oh, betapa aku mencintaimu!” kuharap, beberapa anak perempuan yang
membaca kisah ini akan mengatakan hal itu sebelum semuanya terlambat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar