Sabtu, 21 Desember 2013

HAL-HAL YANG TAK PERNAH KUCERITAKAN KEPADA IBU




Jangan menunggu keadaan ideal,atau kesempatan terbaik, karena semua itu tak akan pernah terjadi.

Suatu hari, saat sedang membersihkan debu dari rak, sebuah wadah porselen nyaris terlepas dari genggaman tanganku. Wadah itu, yang bergambar kincir angin di satu sisi, disertai tulisann kata “jelai” di bawahnya termasuk seperangkat tabung hadiah perkawinan untuk kedua orang tua ku pada tahun 1970. Aku masih ingat waktu aku masih kecil, aku belajr membaca kata, beras, tepung, havermut, dan jelai yang terletak diatas kepalaku di rak dapur. Satu-satunya wadah yang masih ada ini dan aku sungguh tercengang saat hal itu ku sadari sekarang menjadi pusaka keluarga. Hari itu, Saat tabung itu nyaris terlepas dari genggaman tanganku, kurasakan sekilas duka, kesedihan yang masih tetap kurasakan saat mengenang ibunda ku telah berpulang.

 
Selama bertahun-tahun ibuku merasa perlu memberitahuku barang apa saja yang akan ditinggalkannya  saat dia meninggal nanti. Dia ingin diyakinkan bahwa aku akan merawat semua barang yang penting baginya. Aku selalu tidak mau menanggapinya serius mungkin itu sikap protes ku yang tidak mau menerima bahwa suatu hari dia akan meninggal.
Ibunya sendiri, nenekku membawa pulang mangkuk gelas cantik dari Bandung, dan Ibu berulang kali berusaha memberikannya kepadaku. Aku selalu berkata bahwa aku tak berminat memiliki “barang.”
Terakhir kalinya aku bertemu dengan ibu, Aku dan suami ku hendak bepergian selama sebulan. “sayang sekali, kau tak mau menerima sebagian perhiasan mama, ”katanya.” perhiasan mama terlalu banyak untuk dipakai sendiri. Lagi pula, kaukan sering sekali wawancara di televisi, kau bisa memakai manik-manik dan bros yang berbeda-beda.” ibu begitu gigh hingga akhirnya enggan menggerutu aku mau juga menerima kalung emas. Seminggu kemudian, saat terbang kembali ke Jakarta untuk menghadiri acara pemakamannya,  kutempelkan kalung itu ke pipiku dan aku menangis, membelainya, sepanjang perjalann pulang kerumah.
Sekarang aku sadar bahwa yang ingin disampaikan ibuku kepada ku bahwa barang akan bernilai penting jika memunculkan kenangan tentang orang yang kita cintai. Andai saja, aku lebh peka menyikapi pertanyaannya yang tak terungkap.“ Akan kan kau merindukan mama setelah mama tiada? Akankah kenangan mu yang kita lalui bersama menunjukkan betapa besar cinta mama kepadamu?” andai saja aku bisa mengatakkan kepadanya betapa berartinya perhiasannya, wadah porselennya, dan mangkuknya bagiku sekarang. Dan semua barang itu ternyata memang membuatku selalu ingat.
Belum lama ini, kukenakan kalung emas pemberiannya saat hendak menemui seorang teman, aku ingat bakat ibuku dalam bersilahturahmi. Dia selalu menjaga hubungan dengan ratusan temannya sering kali melalui surat yang panjang. Teman yang istimewa baginya adalah teman-temannya semasa kecil, dan mereka sering tertawa bersama. Betapa asiknya mendengarkan tawa mereka! Aku juga menghargai teman-teman lama ku beberapa antaranya telah tiga puluh tahun kukenal. Andai saja aku bisa mengucaapkan terima kasih kepada ibuku yang telah mengajariku betapa berharganya persahabatn yang langgeng.
Ikatan lain yang tak terucap diantara kami adalah kecintaan kami pada dunia tulis menulis. Ayahku, yang saat ini berusia 73 tahun, masi suka mmberiku lembaran kertas menguning yang ditulisi puisi cinta oleh pengantinnya yang masih muda , mungkin masih takut-takut mengungkapkan perasaannya yang paling dalam dengan cara lain. Di selembar kertas yang mulai pudar, dengan hati-hati ibuku menulis:
Dulu aku tak bisa menjalin cerita
Saat gelak tawa mengisi hatiku
Namun, aku bisa menulis kisah tak berakhir
Karena jiwaku terkoyak-koyak!
Ibuku berhenti meulis puisi karena menjadi pendidik para orang tua. Semasa muda, aku ingin menjadi dramawan, tetapi ayahku mengatakan bahwa itu hanyalah hobi yang bagus bukan profesi yang mapan. Aku pun menjadi pendidik orang tua. Aku jadi bertanya dalam hati apakah ayah ku juga pernah mengatakan kepada ibuku bahwa menjadi penyair hanyalah hobi yang bagus. Andai saja aku bisa memberitahu ibuku bahwa aku melihat potensi dirinya sebai penyair.
Disaat hari valentine atau Hari Ibu sudah dekat, aku sedih karen bagaimana teringat bagaimana aku mecemooh kesenangan ibuku mencari-cari alasan untuk merayakan cinta. Kalau saja bisa, akan kukirimkan sepuluh kartu valentin baginya sekarang!
Kini aku menyesal, dulu aku tidak lebih bersenang-senang bersama ibuku, menonton film disiang hari, bepergian bersamanya. Semua itu kesukaan kami berdua, hal-hal yang ku hargai berkat ajarannya. Setiap kali aku kebioskop dan cahaya lampu mulai di padamkan, aku ingat ibuku meremas tangan ku dan berisik, ”Keajaiban dimulai!” Aku ingin mengucapkan terima kasih kepadanya atas anugrah kegembiraan itu. Andai saja aku bisa mengatakan,” Mama, oh, betapa aku mencintaimu!” kuharap, beberapa anak perempuan yang membaca kisah ini akan mengatakan hal itu sebelum semuanya terlambat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar